Jelang Pemilu 2024, Beringin Golkar Digoyang
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Sekelompok massa tak dikenal menyerang diskusi 'Selamatkan Partai Golkar: Menuju Kemenangan Pileg 2024' di Pulau Dua Restoran, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (27/07/2023) kemarin.
Pantauan JIBI di lokasi, belasan orang tak dikenal itu datang sekitar pukul 14.00 WIB. Mereka mengenakan kaus hingga jaket. Massa datang tak terkendali. Mereka berteriak, melempar kursi, dan mengancam semua orang di acara yang digelar oleh Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) itu. Secara sepihak, mereka berteriak ke dalam ruang acara. Mereka ingin acara itu tak dilanjutkan.
Advertisement
BACA JUGA: Luhut Bersedia Gantikan Airlangga Hartarto Jadi Ketua Umum Golkar
Situasi panas dan mengakibatkan sejumlah orang mengalami tindakan intimidasi. "Ada sebagian anak-anak muda di Partai Golkar yang ingin ada sebuah perubahan Partai Golkar yang lebih baik menghadapi Pemilu tetapi dibegal oleh pihak-pihak yang anarkis," kata Inisiator GMPG Almanso Bonara.
Golkar memang sedang panas. Partai berlambang beringin ini sedang diguncang oleh sejumlah isu tak sedap. Sosok Airlangga Hartarto disorot karena kinerja partai yang anjlok dan kasus hukum terkait korupsi izin ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung (Kejagung).
Desakan untuk menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) mengemuka, salah satu kandidat yang muncul untuk menggatikan Airlangga adalah Luhut Binsar Pandjaitan.
Namun demikian, aksi ribut-ribut di Golkar sejatinya bukan suatu yang baru. Setiap pergantian rezim atau mendekati pemilu, partai berlambang beringin itu sering diterpa konflik internal. Sasaran tembaknya adalah posisi ketua umum.
Pada Pemilu 2014 lalu misalnya, Partai Golkar terbelah menjadi dua antara mendukung pencapresan Aburizal Bakrie atau Jusuf Kalla yang pada waktu itu menjadi calon wakil presiden alias Cawapres yang diusung PDI Perjuangan (PDIP). Jusuf Kalla adalah kader senior Golkar.
Puncak konflik pada waktu itu adalah keputusan Ical dan gerbongnya untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai capres pada 2014. Singkat cerita mereka kalah. Konflik terus terjadi di antara elite partai beringin kali ini melibatkan Ical dengan Agung Laksono. Dua-duanya adalah menteri pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Konflik berlangsung keras pada waktu itu. Ada bentrokan di kedua kubu. Ical menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Bali. Sejumlah pendukung Agung Laksono datang ke Bali. Mereka sempat bersitegang dengan ormas lokal yang mengamankan Munas versi Ical. Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar.
Konflik sedikit mereda pada tahun 2016. Saat itu musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) yang menunjuk Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Golkar memperoleh posisi yang penting pada waktu itu. Setya Novanto menjabat sebagai Ketua DPR. Sedangkan, di eksekutif sejumlah kader Golkar salah satunya adalah Airlangga Hartarto menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi.
Namun kepemimpinan Setya Novanto berakhir dengan kasus pidana. Dia terbukti terlibat dalam sejumlah skandal korupsi, salah satunya proyek pengadaan e-KTP. Setya atau Setnov lengser dari kursi Golkar 1. Airlangga Hartarto kemudian menjabat sebagai Ketua Umum Golkar sejak tahun 2017 setelah persaingan ketat dengan Bambang Soesatyo.
Konflik internal juga terjadi pada 2019. Lagi-lagi pemicunya adalah arah dukungan partai pada Pilpres 2019. Golkar secara resmi mendukung Jokowi sebagai capres. Sementara sejumlah kader senior memilih bergabung dengan Prabowo Subianto. Terakhir menjelang Pemilu 2024, konflik itu kembali mengemuka, kali ini isunya adalah evaluasi pencapresan dan posisi Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.
Airlangga oleh orang-orang yang menginginkannya mundur dianggap gagal membawa Partai Golkar bangkit. Elektabilitas Partai Golkar hanya berada di kisaran 6 persen sampai dengan 9 persen. Angka ini jauh menurun jika dibandingkan pencapaian tren suara Golkar sejak Pemilu 1971 yang paling rendah hanya 12 persen pada Pemilu 2019 lalu.
Selain itu Airlangga juga dianggap tidak bisa memanfaatkan momentumnya sebagai bagian dari pemerintahan. Meski Munas Golkar pada 2019 menetapkannya sebagai capres, tingkat keterpilihan Airlangga juga masih panggang jauh dari api.
Hasil polling Indikator Politik, misalnya, memaparkan bahwa elektabilitas Airlangga Hartarto tidak lebih dari 0,8 persen. Kalah bersaing dari Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Elektabilitas Airlangga bahkan lebih rendah dari kadernya sendiri yakni Ridwan Kamil yang memiliki angka sedikit lebih baik yakni 3,5 persen.
Kubu Airlangga Membantah
Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) partai Golkar Airlangga Hartarto mengaku belum mengetahui kabar mengenai dua wartawan mengalami kekerasan saat liputan acara ‘Selamatkan Partai Golkar: Menuju Kemenangan Pileg 2024’.
Hal ini disampaikannya usai mengikuti rapat terbatas (ratas) terkait dengan Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) di Istana Negara, Rabu (26/7/2023).
“Waduh saya belum tahu, belum dengar juga,” katanya Airlangga saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (26/7/2023).
Menteri Koordinator bidang Perekonomian itu pun memastikan akan segera memonitor kericuhan tersebut.
Adapiun Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono juga membantah ketua umumnya Airlangga Hartarto mengerahkan massa untuk membubarkan acara tersebut.
"Pak Airlangga tidak pernah memberikan instruksi seperti itu," bantah Dave saat dikonfirmasi Bisnis, Rabu (26/7/2023).
Di samping itu, dia mengatakan memang tak ada agenda partai di Pulau Dua Restoran Senayan. Bahkan, lanjutnya, cara tersebut tak resmi apabila mengatasnamakan Golkar.
"Juga memang tidak ada agenda acara partai hari ini di lokasi tersebut. Semua kegiatan partai harus dijadwalkan oleh sekjen. Di luar itu, berarti giat liar," ungkap Dave.
Raihan Suara Golkar
Golkar memiliki sejarah panjang. Berawal dari ide Sukarno tentang perwakilan golongan, menjadi 'kepanjangan tangan' penguasa pada masa Soeharto, kini berubah sebagai salah satu partai politik terbesar pasca tumbangnya otoritarianisme Orde Baru.
Golkar adalah golongan atau partai politik yang mampu bertahan pada tiga rezim politik yang berbeda. Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi.
Perjalanan politik Golkar di tiga rezim politik ini selalu menarik disimak, terutama sepak terjangnya pada masa Orde Baru. Meski waktu itu bukan sebagai partai politik, Golkar dengan sokongan penguasa mampu menyediakan kendaraan politik selama lebih dari dua dasawarsa bagi Soeharto.
Soeharto adalah salah satu atau mungkin satu-satunya presiden yang berhasil diusung langsung oleh Golkar. Terakhir kali Golkar menunjuk Soeharto sebagai calon presiden untuk periode 1998-2003 pada pemilihan umum (pemilu) 1997 silam.
Pengumuman pencalonan presiden itu dibacakan langsung oleh Ketua Umum Golkar pada waktu itu, Harmoko. "Bahwa putra terbaik bangsa yang memenuhi kriteria untuk diajukan sebagai calon presiden mandataris MPR masa bakti 1998-2003 adalah Haji Muhammad Soeharto," ucap Harmoko dalam video yang banyak beredar.
Relasi antara Golkar dan Soeharto begitu kuat. Kalau menilik Sejarah, era Orde Baru adalah masa keemasan bagi Golkar. Perolehan suaranya melejit dan mendominasi politik Indonesia lebih dari seperempat abad.
Kemunculan Golkar sendiri tidak lepas dari proses depolitisasi oleh pemerintah Orde Baru. Partai politik yang tadinya beragam disederhanakan menjadi tiga. Golongan Islam diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP), nasionalis Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan satu kelompok bernama Golongan Karya. Golkar bukanlah sebuah partai politik.
Kendati bukan parpol, Golkar selalu memenangkan pemilu selama pemerintahan Orde Baru berkuasa. Pada tahun Pemilu 1971, yang menjadi debut pertamanya dalam pesta demokrasi, Golkar mampu meraup suara 32,3 juta atau 62,8 persen. Golkar sukses mengalahkan NU, PNI dan Parmusi.
Golkar kembali memenangkan Pemilu 1977 dengan perolehan suara sebanyak 39,7 juta atau 62,1 persen. Unggul jauh dibandingkan dengan PPP yang hanya 29,9 persen dan PDI yang tercatat sebanyak 8,6 persen.
Pada dekade 1980-an, Golkar masih belum terkalahkan. Pada Pemilu 1982 suara golongan berlambang beringin tersebut justru naik cukup signifikan. Golkar mampu meraup 48,3 juta suara atau 64,3 persen. Partai lain seperti PPP dan PDI suaranya turun menjadi 27,7 persen dan 7,8 persen.
Golkar juga semakin tak terkejar pada Pemilu 1987. Pasalnya pada waktu mereka mampu memperoleh suara sebanyak 62,7 juta atau 73,1 persen suara. PPP suaranya tergerus parah hingga tersisa 15,97 persen. Sedangkan PDI memperoleh limpahan suara karena kemunculan Megawati Soekarnoputri. Suara PDI pada Pemilu 1987 mencapai 10,87 persen.
Sementara itu, dekade 1990-an menjadi titik nadir dalam sejarah Golkar. Gerakan demokratisasi yang menyebar ke seluruh pelosok tanah air telah menggerus suara partai penguasa ini. Hal itu terbukti dalam pelaksanaan Pemilu 1992. Suara Golkar turun menjadi 68,1 persen atau 66,5 juta. Suara PPP dan PDI merangkak naik menjadi masing-masing 17 persen dan 14,8 persen.
Golkar mampu comeback pada Pemilu 1997. Namun peningkatan suara Golkar itu terjadi pasca proses represi terhadap PDI pro Mega. Pada Pemilu 1997, Golkar mampu menguasai 84,1 juta atau 74,5 persen, PPP naik menjadi 22,4 persen. Sedangkan PDI hanya tersisa 3 persen suara. Soeharto kembali terpilih sebagai presiden.
Namun demikian, usia kemenangan Golkar dan Soeharto pada Pemilu 1997 tidak mampu bertahan lama. Gerakan demokratisasi terus berlangsung. Demonstrasi semakin intens. Hasilnya pada Mei 1998 Soeharto berhenti sebagai presiden dan Golkar sebagai golongan penguasa pada waktu itu memperoleh sentimen negatif.
Golkar dan Reformasi
Menariknya meski terkena sentimen negatif, Golkar masih bisa meraup suara yang signifikan pada Pemilu 1999 dengan peserta pemilu sebanyak 48 partai. Golkar yang telah resmi menjadi partai politik tampil sebagai runner up dengan perolehan suara sebanyak 23,6 juta atau 22,4 persen.
Nomor satu adalah PDI Perjuangan dengan perolehan suara sebanyak 33,75 persen. PKB sebagai representasi NU 12,6 persen.
Pada Pemilu 2004 capaian Golkar sangat mengejutkan. Hanya berselang 5 tahun pasca tumbangnya Orde Baru, partai ini mampu tampil sebagai pemenang pemilu. Golkar berhasil meraup suara sebanyak 24,4 juta atau 21,5 persen. PDIP yang sebelumnya menjadi pemenang pemilu suaranya turun. Mereka hanya memproleh suara sebanyak 18,53 persen suara.
Namun demikian, pada Pemilu 2009 Golkar kembali ke posisi kedua dengan perolehan suara 15 juta atau 14,4 persen. Pemenang pemilu adalah Partai Demokrat dengan suara sebanyak 20,8 persen. PDIP di peringkat ketiga dengan suara sebanyak 14,5 juta atau 14 persen.
Pemilu 2014 suara Golkar tak banyak berubah. Partai ini tetap berada di peringkat kedua dengan perolehan suara sebanyak 18,4 juta atau 14,75 persen. Sedangkan pada Pemilu 2019 posisi Golkar turun ke peringkat 3 dengan capaian suara 17,2 juta atau 12,1 persen. Bagaimana tahun 2024?
Sejauh ini elektabilitas Golkar berada di angka 6 persen sampai 9 persen. Jika itu tidak berubah, maka Golkar akan memasuki fase terendah dalam sejarah elektoral sejak Pemilu 1971.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Prediksi BMKG: Sebagian Besar Wilayah Indonesia Diguyur Hujan
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Hiswana Migas DIY Berharap Keempat SPBU yang Ditutup Segera Beroperasi dengan Sistem KSO, Begini Respons Pertamina
- Jadwal SIM Keliling di Jogja, Sabtu Malam Ini Pukul 19.00-21.00 WIB di Alun-alun Kidul Jogja
- Kasus ASN Ikut Kampanye Pilkada Ditangani Bawaslu Bantul
- Pilkada 2024, KPU Kulonprogo Tetapkan 775 Daftar Pemilih Tambahan
- Polres Gunungkidul Bakal Terjunkan Ratusan Personel Pengamanan Pilkada 2024
Advertisement
Advertisement