Advertisement

Gelombang Kritik dari Kampus: Forum Rektor Muhammadiyah Aisyiyah Minta Presiden Kedepankan Etika

Lugas Subarkah, Sunartono, & David Kurniawan
Jum'at, 02 Februari 2024 - 19:22 WIB
Budi Cahyana
Gelombang Kritik dari Kampus: Forum Rektor Muhammadiyah Aisyiyah Minta Presiden Kedepankan Etika Ketua Umum Forum Rektor PTMA yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Gunawan Budiyanto. - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Gelombang kritik terhadap situasi politik di Indonesia terus berdatangan dari berbagai kampus. Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) meminta elite politik, dari presiden hingga bupati atau wali kota, mengedepankan etika.

Forum Rektor PTMA menilai elite politik Indonesia telah mempertontonkan perilaku tuna etika pada masyarakat, sehingga Pemilu 2024 seharusnya menjadi momen untuk membuat kontrak politik baru antara masyarakat dan elite politik.

Advertisement

Ketua Umum Forum Rektor PTMA, Gunawan Budiyanto, menuturkan dalam dinamika politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, rakyat Indonesia disajikan berbagai perilaku elite politik yang tuna etika dan jauh dari nilai-nilai keadaban luhur.

BACA JUGA: Petisi Bulaksumur, Akademisi UGM Sebut Jokowi Keluar dari Jalur Demokrasi

“Proses demokrasi yang sudah dibangun sejak 25 tahun lalu kini berjalan dengan penyimpangan yang tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Penegakan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu melalui siaran pers, Jumat (2/2/2024).

Kelompok kritis dan oposisi, menurutnya disingkirkan satu per satu dengan menggunakan produk hukum bernama UU ITE dan KUHP. Praktik kebebasan sipil dikebiri atas dalih stabilitas. KPK pun diperlemah melalui revisi UU KPK.

“Proses pembuatan sejumlah kebijakan dilaksanakan tanpa melibatkan publik secara luas seperti yang terjadi pada UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Omnibus Law Kesehatan, dan UU Ibu Kota Negara [IKN]. Karena itu, momentum 14 Februari 2024 harus menjadi momentum untuk melakukan kontrak politik baru antara rakyat dengan calon pemimpin,” katanya.

Forum Rektor PTMA dengan melibatkan civitas academica seluruh kampus PTMA akan mengawal sekaligus mengawasi proses masa kampanye pemilu hingga penghitungan dan penetapan suara di KPU sehingga memastikan Pemilu terbebas dari berbagai tindakan pelanggaran maupun kecurangan.

Kedua, menyerukan kepada penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu hingga jajarannya di tingkat TPS untuk dapat menjaga integritas dan netralitas para petugasnya agar pemilu benar-benar berjalan sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” paparnya.

Ketiga, menyerukan kepada warga Muhammadiyah, terutama mahasiswa, dosen, dan karyawan di lingkungan PTMA untuk menjadi pengawas independen di masing-masing TPS dan melaporkan kepada pengawas TPS dan Bawaslu jika terjadi pelanggaran dan kecurangan.

Keempat, meminta kepada semua aparat keamanan, kepolisian, militer, ASN, untuk bersikap netral selama proses Pemilu dan Pilpres 2024. “Kelima, meminta kepada presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, bupati/wali kota serta wakil bupati/wakil wali kota untuk bersikap proporsional dengan mengedepankan etika selama proses Pemilu dan Pilpres 2024,” kata dia.

Keenam, memilih pemimpin yang memiliki komitmen kuat dalam pembuatan kebijakan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan mengedepankan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat, mempunyai kepedulian terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, berkomitmen dalam melakukan pemberantasan korupsi, dan menjamin kebebasan berpendapat.

“Dengan demikian, kita berharap Indonesia dapat memiliki pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat banyak untuk Indonesia yang berkeadaban serta menjunjung tinggi etika di atas hukum dan kekuasaan,” ujar dia.

BACA JUGA: Demokrasi Indonesia Terancam, Rektor UII Ajak Kampus Lain Ikut Bergerak

Sebelumnya, akademisi dari sejumlah universitas seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Andalas, Universitas Hasanudin, hingga Universitas Indonesia (UI) menyampaikan petisi berupa kritik terhadap pemerintahan Jokowi.

Mereka menyinggung soal etika hingga kenegarawanan. Akademisi UGM yang pertama kali menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi politik akhir-akhir ini. Mereka menyampaikan Petisi Bulaksumur, pada Rabu (31/1) lalu. Sehari setelahnya, UII turut menyatakan sikap yang sama dipimpin oleh Rektor UII Profesor Fathul Wahid.

Jumat ini, warga dan alumni Universitas Indonesia (UI) juga membacakan seruan kebangsaan yang meminta pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) bebas dari segala bentuk intimidasi.

"Berdasarkan ruh kebebasan akademik yang kami punya, kami berdiri di sini mengajak warga dan alumni UI dan juga seluruh warga Indonesia untuk segera merapatkan barisan. Pertama, mengutuk segala bentuk tindakan yang menindas kebebasan berekspresi," kata Ketua Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo di UI, Depok, Jawa Barat, Jumat.

Selain tanpa intimidasi, mereka meminta hak pilih rakyat dalam pemilu dapat dijalankan tanpa ketakutan, sehingga pemilu bisa berlangsung secara jujur dan adil. Berikutnya, civitas academica UI meminta agar seluruh aparatur sipil negara (ASN), pejabat pemerintah, hingga TNI dan Polri bebas dari paksaan untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

“Yang keempat, menyerukan agar semua perguruan tinggi di seluruh Tanah Air mengawasi dan mengawal secara ketat pelaksanaan pemungutan suara serta penghitungannya di wilayah masing-masing," ujar Harkristuti.

BACA JUGA: Muncul Gelombang Kritik Kampus di Jogja ke Jokowi, Sultan: Enggak Apa-apa, Itu Demokrasi

Dalam seruan kebangsaan itu, Harkristuti menegaskan UI merupakan kampus perjuangan yang telah melahirkan para pejuang dalam menghadapi peristiwa berat di masa lalu. Harkristuti juga mengatakan bahwa civitas academica UI sejatinya tidak pernah diam di tengah kerja-kerja akademiknya. "Kami tetap mewaspadai hidupnya demokrasi dan mewaspadai pula kedaulatan agar tetap di tangan rakyat," ujar dia.

Warga dan alumni UI tidak ingin tatanan hukum dan demokrasi di Tanah Air hancur. Untuk itu, mereka mengingatkan pentingnya etika bernegara dan bermasyarakat, terutama untuk memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Mereka pun mengingatkan agar pejabat serta elite politik dan hukum untuk tidak mengingkari sumpah jabatan demi kepentingan pribadi dan kekuasaan.

Presiden RI Joko Widodo menekankan petisi dari beberapa akademisi dari sejumlah universitas terkait dengan pemerintahannya sebagai sebuah hak berpendapat dan berdemokrasi. "Ya, itu hak demokrasi, setiap orang boleh berbicara, berpendapat, silakan," ujar Presiden, Jumat.

BACA JUGA: Paspampres Jokowi Bantah Lakukan Kekerasan ke Pendukung Ganjar di Gunungkidul

Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menambahkan dalam negara demokrasi kebebasan untuk menyampaikan pendapat, seruan, petisi, maupun kritik harus dihormati. "Bapak Presiden juga telah menegaskan freedom of speech adalah hak demokrasi. Kritik adalah vitamin untuk terus melakukan perbaikan pada kualitas demokrasi di negara kita," ujar Ari.

Ari menyebut perbedaan pendapat, perspektif, pilihan politik adalah sesuatu yang sangat wajar dalam demokrasi, terlebih pada tahun politik, menjelang pemilu, pertarungan opini pasti terjadi. "Akhir-akhir ini, terlihat ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral. Strategi politik partisan seperti itu juga sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik. Namun, ada baiknya kontestasi politik, termasuk dalam pertarungan opini, dibangun dalam kultur dialog yang substantif dan perdebatan yang sehat," ungkap Ari Dwipayana.

Ari menegaskan Jokowi tetap berkomitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan koridor konstitusi.

Sementara itu, Gubernur DIY sekaligus Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB X tak mempermasalahkan adanya kampus di Jogja yang secara terang-terangan menyatakan kritik terhadap pemerintahan Preside Jokowi. Hal itu menjadi ranah setiap kampus tersebut. "Ya enggak papa itu urusan akademisi, jangan tanya saya," kata Sultan di kompleks Kepatihan, Jumat.

Menurut Sultan, kritik merupakan bagian dari demokrasi. Selain itu, kampus memiliki hak otonomi masing-masing dan berhak menyampaikan pendapatnya. "Itu kan otonom [kalau mengkritik] ya terserah saja, aspirasi demokratisasi, enggak apa-apa," katanya.

Pemerintah tentu harus merespons berbagai kritik tersebut secara terbuka. "Sekarang tinggal bagaimana pemerintah menanggapi, terbuka saja, tidak usah takut," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Tiga Ribu Lebih WNI Terjerat Online Scam Sejak 2021

News
| Minggu, 28 April 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement